top of page

Catatan RECO Bagian 1: Menemukan Diri untuk Menemukan Kolektif

Polarisasi. Quadran. Developmental Edge. Kalau mendengar tiga kata tadi, apa yang terlintas di pikiranmu? “Here we go again, istilah umum yang entah kenapa dibuat membingungkan oleh orang NGO.” Gitu nggak? Kalo iya, sama kok. Aku juga berpikir demikian. Tapi ternyata, tiga istilah tadi punya makna mendalam yang akan mengubah cara kita melihat kolaborasi.



Selama tiga hari mengikuti pelatihan Reimagining Collaboration (RECO) di Bali pada 27-29 Februari 2024, yang diselenggarakan oleh Spring Strategies–bekerja sama dengan Roemah Inspirit, kami menemukan bahwa membayangkan kembali kolaborasi bukan hanya perihal menjalin kerja sama yang harmonis dan menyenangkan. Ada makna yang lebih mendasar dari itu: mengimajinasikan kembali juga berarti menemukan dan memulihkan. Memulihkan diri dari metode lama yang memberatkan, dan menemukan jalan baru yang membuat kita merasa terhubung dan bersemangat. 


Dalam kehidupan sehari-hari, ada cara pandang “umum” yang kita terapkan. Meski sebenarnya perspektif itu mungkin tidak sepenuhnya beresonansi dengan siapa kita sebagai pribadi. Seperti misalnya anggapan bahwa hidup yang penuh adalah hidup yang makmur. Hidup yang makmur adalah hidup yang dilimpahi kekayaan. Menjadi kaya berarti menimbun, mengambil lebih dari yang kita butuh, merusak, mengecualikan. Ini disebut juga sebagai budaya dominan atau dominant culture. Mengimajinasikan dunia baru, di mana kolaborasi menjadi jantungnya, berarti belajar melihat dunia alternatif dari yang  selama ini ditawarkan oleh budaya dominan. Meminjam kalimat Ellen Sprenger, founder sekaligus CEO Spring, membebaskan diri dari budaya dominan adalah upaya kembali menjadi manusia. 


Membebaskan diri dari belenggu budaya dominan dan menciptakan dunia yang lebih kolaboratif menuntut kita menjadi reflektif. Ketika melihat ke dalam, kita menyadari bahwa diri ini memiliki apa yang disebut sebagai orientasi dan kapasitas. Orientasi dapat dimaknai sebagai sesuatu yang disukai, cenderung dipilih, dan diklaim sebagai “cara kita”. Kapasitas di sisi lain adalah cara memperluas orientasi untuk memastikan akan selalu ada ruang tumbuh dan berkembang.


Menemukan Kuadran Kita


Memahami kuadran, dan di mana kita berdiri di dalam spektrum itu, adalah salah satu cara mengidentifikasi orientasi dan mengembangkan kapasitas. Pada dasarnya ada empat kuadran utama: relationship (hubungan), structure (struktur), action (aksi atau tindakan), dan inner meaning (makna batin). Bagaimana kamu bisa tahu orientasimu ada di mana? Bayangkan kamu sedang dihadapkan dengan sebuah projek besar. Apa hal pertama yang terlintas di pikiranmu? 


Jika kamu merasa bersemangat, tidak sabar untuk memulai projek itu, dan membayangkan apa yang dapat segera kamu lakukan, kemungkinan kamu berada di kuadran action. Orang dengan kuadran ini berani mengambil resiko, melihat kecepatan sebagai esensi dari kegiatan, dan tantangan sebagai penguat. 


Tapi jika kamu mendapati diri mempertanyakan tujuan dari sebuah proyek, perlu waktu untuk mempertimbangkan makna dari proyek itu bagimu, serta apa dampaknya di masa depan, bisa jadi kamu jatuh di kuadran inner meaning. Orang dengan kuadran ini reflektif, menghargai autentisitas, dan penuh pertimbangan dalam segala yang mereka lakukan: bagi seorang inner meaning, tujuan menjadi kunci. “Kenapa?” adalah pertanyaan penting yang mesti terjawab bagi pribadi di kuadran ini. 


Lain lagi jika kamu langsung memikirkan langkah-langkah taktis dalam menyusun proyek, memastikan semua orang berada di halaman yang sama, dan berjalan sesuai dengan rencana yang sudah dirancang. Ketebak kan? Structure people, assemble! Pribadi di kuadran struktur menghargai keteraturan, kejelasan, dan ketepatan. Mereka mampu melihat gambaran besar, namun juga punya perhatian luar biasa pada hal-hal detil.


Last but not least, jika kamu melihat sebuah proyek sebagai kesempatan untuk memperluas jejaring, bertemu orang baru, atau menjalin kerja sama multi pihak, kamu mungkin berada di kuadran relationship. Orang dalam kuadran ini handal menjalin dan merawat relasi, mampu mengidentifikasi sumber daya di sekitar mereka beserta kekuatannya, dan mendapat energi dari hubungan yang mereka bangun. 


Penting untuk diingat bahwa kuadranmu adalah kekuatanmu. Meski begitu, ia dapat menjadi pedang bermata dua ketika kamu menolak untuk berubah dan justru menuntut penyesuaian dari orang lain.



Mengidentifikasi Gaya Konflik dan Perspektif


Orientasimu juga dapat dilihat dari caramu melihat dan memitigasi konflik. Secara garis besar ada tiga cara menghadapi konflik: move in, move with, dan move away. Orang dengan kecenderungan move in antusias dalam menghadapi konflik, mereka melihat konflik sebagai kesempatan untuk tumbuh. Move with people melihat konflik sebagai sesuatu untuk dijembatani. Meski tidak nyaman dengan adanya konflik, orang dengan gaya berkonflik move with tetap aktif dalam berupaya mengurai ketegangan. Move away di sisi lain, menghindari konflik sama sekali. Orang dengan gaya konflik ini cenderung menjaga stabilitas dan keamanan, mereka melihat konflik sebagai sesuatu yang harus diminimalkan. 


Sama halnya dengan kuadran, orientasimu dalam berkonflik adalah sesuatu yang bersifat lentur dan tak ajeg. Bisa jadi kamu terbiasa dengan gaya konflik move with, tapi kamu perlu mulai move in untuk bisa jadi pribadi yang lebih vokal dan less people pleasing. Atau kamu selalu punya pendekatan move in, namun pengalaman lambat laun mengajarkanmu untuk tidak selalu berpartisipasi dalam konflik, dan mengadaptasi model move away. 


Untuk bisa menjalin kolaborasi yang produktif, kamu harus menguasai kemampuan melihat ke dalam untuk dapat melihat ke luar dengan lebih jernih. RECO mengajarkan kami tentang tiga jenis perspektif: perspektif orang pertama (saya), perspektif orang kedua (kami), dan perspektif orang ketiga (itu). 


Kolaborasi menuntut kita untuk dapat menemukan keseimbangan antara ketiga perspektif itu. Utamanya perspektif pertama (saya) dan kedua (kami). Dalam berkomunikasi, penting untuk mengetahui di saat apa kita mesti menggunakan perspektif yang mana. Di hadapan kompleksitas, jangan melulu berkiblat pada diri. Ingat, orientasi itu fleksibel. Pastikan selalu ada ruang untuk pengembangan kapasitas. 


Tapi juga, jangan sampai kecele dan justru memanfaatkan perspektif kedua (kami) untuk kepentingan pribadi. 



Dari tiga hari pengalaman kami menjelajahi diri di Reimagining Collaboration, satu hal menjadi pasti: kolaborasi adalah otot yang mesti rajin dilatih. Dan seperti otot, kolaborasi adalah sistem; konstelasi. Perlu energi kolektif, keinginan bergerak, dan semangat bertumbuh agar kolaborasi tidak sekadar berhasil, namun juga mampu merangkul dan beresonansi dengan seluruh yang ada di dalam konstelasi tersebut. 


bottom of page