Roemah Inspirit (Roemi) selalu bersemangat menantikan dan terlibat dalam program-program In-Docs, sebuah institusi nirlaba yang berkomitmen untuk menumbuhkan budaya keterbukaan menggunakan film dokumenter di Indonesia. Tahun ini, kesempatan itu hadir melalui program Good Pitch Indonesia 2024. Budhita Kismadi, Direktur Eksekutif Roemi, bersama dua fasilitator alumni INSPIRIT yaitu Nita Rositha dan Rhino Ariefiansyah, terlibat sebagai mentor yang mendampingi para pembuat film mempersiapkan diri untuk proses pitching.
Good Pitch Indonesia adalah sebuah program satelit dari jaringan Good Pitch global yang dijalankan secara independen oleh In-Docs. Melalui program Good Pitch, para pembuat film dipertemukan dengan berbagai lembaga nirlaba, filantropi, pembuat kebijakan, brand, dan media yang berkecimpung di isu seputar sosial dan lingkungan. Tak hanya soal pendanaan, para pembuat film ini berupaya menemukan mitra-mitra kolaborasi untuk mewujudkan dampak perubahan yang mereka inginkan.
Good Pitch Indonesia 2024 yang diselenggarakan pada 6 Maret 2024 di Menara Kuningan ini mengambil tema kondangan. Terkesan nyeleneh tapi justru jadi pilihan yang sangat masuk akal. Filosofinya adalah Good Pitch jadi semacam ajang ‘mempersunting’ antara pembuat film (filmmaker) dengan penggugah perubahan (changemaker). Selain itu, jika melihat kultur kondangan di Indonesia, biasanya kesempatan ini jadi pertemuan yang hangat, membumi, dan penuh energi. Tiga kata yang sungguh mendeskripsikan pengalaman kami selama kurang lebih 7 jam menyimak para filmmaker dan changemaker saling melempar cinta pada satu sama lain.
Pada gelaran Good Pitch Indonesia 2024, In-Docs menampilkan 4 dokumenter yang menyajikan cerita-cerita resiliensi, yang menguatkan hati di tengah carut-marutnya kondisi sosial di negeri ini.
Planet of Love, Cinta untuk Anak-Anak dengan HIV/AIDS
Sesi pitching pertama dimulai dengan film Planet of Love. Sebuah dokumenter yang menceritakan kisah Pak Puger dan Ibu Ngantiyem, dua orang dari panti asuhan Lentera di Surakarta, yang mendedikasikan waktu dan energinya mendampingi Anak Dengan HIV (ADHIV). Stigma dan ketidaktahuan masyarakat akan informasi seputar HIV/AIDS, telah mengakibatkan banyak anak tidak mendapatkan hak atas pendidikan formal, dan ditolak oleh institusi sekolah.
Tergerak oleh apa yang dilakukan Pak Puger, Bu Ngantiyem, dan Yayasan Lentera, Ika Wulandari memanfaatkan kehandalannya sebagai kameramen untuk turut menciptakan perubahan melalui Planet of Love, bersama Putri Rakhmadhani dan John Badulu. Kemudian bersama Yayasan Lentera, ketiganya menggagas Network of Love: sebuah inisiatif untuk memutarkan film Planet of Love di 5 kota dalam rangka meningkatkan kemawasan publik seputar isu kesehatan khususnya HIV/AIDS.
Sesi pengutaraan pledge atau ikrar selalu berhasil bikin kami merinding dan terharu. Segera setelah MC mempersilakan audiens untuk mengucap ikrar, berbagai komitmen baik melesat yakin dari mulut para penggerak perubahan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berjanji akan mengawal isu anak dengan HIV, ada yang menjanjikan dua tahun konsultasi komunikasi gratis untuk mewujudkan mimpi sekolah bagi anak dengan HIV, kemudian ada pula yang memberi pernyataan tegas: anak dengan HIV adalah anak kita semua, dan mendorong agar film ini dapat diputarkan pada program organisasinya.
Senandung Senyap, Resiliensi dalam Sunyi
Ada tangis haru dan tepuk tangan riuh yang mengiringi setiap ikrar yang terucap lantang. Dengan atmosfer yang penuh kasih, kami berpindah ke pitching film selanjutnya; Senandung Senyap. Sinta Nainggolan, Impact Producer dari film ini, adalah seorang kawan baik bagi Roemi. Kami menunggu pitching filmnya dengan wajah girang dan bersemangat.
Hasna Mufidah atau Mufi, protagonis dalam film dokumenter ini, memulai sesi pitching dengan melakukan monolog. Sebelumnya, Mohammad Ismail, Impact Producer dari Senandung Senyap, memberi disclaimer bahwa monolog akan sengaja dilakukan tanpa menggunakan penerjemah bahasa Isyarat. Pada akhir dari monolog itu, Ismail menyampaikan, “beginilah rasanya kami kawan Tuli, ketika melihat film atau pertunjukan yang tidak ramah Tuli.”
Kalimat Ismail terasa seperti sentilan di kening kita semua, bahwa seringkali kita perlu diingatkan untuk bisa terus inklusif sejak dalam pikiran.
Senandung Senyap adalah perjalanan Mufi mengklaim kembali kekuatannya sebagai seorang Tuli lewat medium seni. Senandung Senyap diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam menjadikan interaksi antara orang Tuli dengan orang dengar sebagai sesuatu yang biasa dan menyenangkan.
Tim Senandung Senyap juga menggagas sebuah program yang disebut Berdaya Budaya. Objektifnya adalah untuk melakukan kunjungan ke wilayah yang masih minim akses bagi teman-teman penyandang disabilitas.
Rival Ahmad, Impact Producer dan kolaborator dalam film Senandung Senyap menyampaikan bahwa kolaborasi yang diharapkan bukanlah orang dengar membantu orang Tuli. Ini hanya akan memperkuat anggapan bahwa kawan disabilitas adalah “orang-orang yang perlu diselamatkan.” Tapi sebuah bentuk kolaborasi di mana baik kawan disabilitas maupun non-disabilitas dapat saling bekerja sama menciptakan sistem yang lebih inklusif bagi semua.
Pulau yang Ditinggalkan, Rindu Pilu pada Pulau Sabu
Jam menunjukkan pukul 12.00, dan hidangan hajatan sudah disiapkan di belakang ruangan. Kami menyantap sambil menyapa beberapa wajah familiar, dan mengenalkan diri pada wajah-wajah baru. Rehat makan siang rasanya perlu dilakukan, mengingat kedua film selanjutnya–Pulau yang Ditinggalkan dan Balek Ke Jambi–akan cukup jadi roller coaster perasaan.
Pulau yang Ditinggalkan adalah kisah milik penduduk Pulau Sabu. Dalam kasus ini mereka diwakili oleh Ose Haga (38) dan Iki Kitu (19), dua penduduk asli Sabu yang terpaksa meninggalkan tanah leluhurnya demi mendapatkan penghidupan yang lebih baik di tanah orang.
Pulau yang Ditinggalkan mengemas isu kerusakan alam lewat lensa yang sangat personal. Bagaimana ia tidak hanya merusak peradaban, namun menyasar pada sesuatu yang begitu dekat: keluarga, identitas, orang terkasih. Bagaimana kekeringan di Pulau Sabu memaksa Ose Haga memilih jalan berat meninggalkan keluarganya. Mengusir Iki Kitu dari tempat kelahirannya, menjemput janji akan kesuksesan di tanah perantauan.
Menyadari pentingnya membangun harapan di tanah Sabu, tim Pulau yang Ditinggalkan merancang program 'Mimpi Untuk Pulau’: sebuah kelas inspirasi yang menghadirkan orang dari berbagai profesi untuk memperluas perspektif anak-anak Pulau Sabu tentang masa depan. Komunitas ini diharapkan dapat memantik semangat mereka untuk berani bermimpi.
Beresonansi dengan visi itu, Roemah Inspirit turut maju dalam sesi ikrar. Kami berjanji untuk membantu pendistribusian film ini ke minimal lima wilayah, sekaligus menyalurkan jejaring fasilitator kami untuk mendorong terciptanya mimpi besar itu. Ragam ikrar lain turut membanjiri ruangan dengan rasa harap. Ada yang memberikan donasi pribadi, menawarkan jasa mengajar bahasa Inggris, dan bahkan konsultasi seputar cara mendaftar beasiswa ke luar negeri.
Balek Ke Jambi, Sebuah Perjalanan untuk Kembali
Jadi salah satu sesi pitching paling mengaduk emosi, Balek Ke Jambi menjadi penutup yang sangat berkesan. Anggun, seorang transpuan sekaligus protagonis dan sutradara dari dokumenter ini, membaca puisi sembari menyenandungkan rindunya untuk Sang Ayah dan Ibu. “Mak, aku sayang kamu,” ucapnya kepada Mak yang duduk di kursi penonton.
Balek Ke Jambi adalah surat cinta Anggun kepada orang tuanya. Merangkum perjalanannya kembali ke kampung halaman setelah 8 tahun sebelumnya ia kabur atas dasar rasa takut akan penghakiman dan persekusi dari orang tua serta lingkungan sekitarnya. Perjalanan Anggun menemukan penerimaan atas diri, serta penerimaan dari Sang Ayah adalah potret kehidupan yang ditangkap dengan begitu jujur, tulus, dan tanpa pretensi.
Kami sebagai audiens dapat merasakan rasa takut dan cemas itu seperti menyublim sama sekali ketika ayah Anggun dengan lugas mengutarakan cintanya pada Sang Anak. “Saya sudah menerima semuanya, Anggun sebagai milik saya.” Kalimat itu disertai adegan beberapa penonton menghapus air mata yang sudah menggenang sedari tadi.
Tim Balek Ke Jambi merancang program yang disebut Rumah Dialog; sebuah ruang fasilitasi bagi teman transpuan dan keluarganya. Rumah Dialog direncanakan untuk dibangun di 7 kabupaten kota. Ini sekaligus jadi entry point bagi banyak keluarga di luar sana untuk dapat merangkul, menerima, dan menjadi ‘rumah’ untuk anak dengan ragam identitas gender.
Segera setelah sesi pitching rampung, para changemaker langsung membuat antrian panjang memberi ikrar. Ada yang berjanji berupaya mensosialisasikan isu ini ke para pemuka agama di Indonesia Timur, dan ada pula yang menyatakan akan membuka jalan agar permasalahan ini dapat dibahas di kalangan Gusdurian Indonesia. Paramita Mohamad, founder Communication 4 Change berdonasi ke ketujuh Rumah Dialog, dan menutup ikrarnya dengan manis: “Selamat datang ke dunia, Anggun.”
Hari ini adalah pengingat yang indah bagi kami, juga rasanya seluruh penggerak perubahan–dalam kapasitas apapun baik itu pembuat film, mahasiswa, dosen, dan lain sebagainya–bahwa kita dikelilingi oleh begitu banyak kebaikan. Bahwa api perubahan itu belum mati, jika kita bersedia untuk menjaga baranya bersama-sama.
Comments